Strategi Menghidupkan Kembali Pewarna Alami Indonesia pada Batik
Oleh: Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, MA.
Batik merupakan kain khas Indonesia yang sudah menjadi warisan nusantara. Murtihasi dan Mukminatun (1979) menjelaskan mengenai pengertian batik yang merupakan cara pembuatan bahan sandang berupa tekstil yang bercorak pewarnaan dengan menggunakan lilin sebagai penutup untuk mengamankan warna dari perembesan warna yang lain dalam pencelupan. Proses pewarnaan ini bertujuan untuk memberi kesan yang lebih estetik dan menunjukkan ciri khas dari batik itu sendiri. Proses pewarnaan batik dapat dilakukan dengan dua proses pewarnaan, yakni proses pewarnaan dengan pewarna alami, dan pewarnaan dengan pewarna sintesis. Pewarnaan dengan pewarna alami merupakan proses pewarnaan yang menggunakan bahan-bahan dari alam. Sedangkan pewarna sintesis merupakan zat warna buatan atau sintesis yang dibuat dengan reaksi kimia dan menggunakan bahan dasar arang atau batu bara atau minyak bumi.
Pada dasarnya manusia zaman dahulu sudah mengenal proses pewarnaan alami karena mereka tinggal berdekatan dengan alam. Mereka merekam warna dari alam dan mengaplikasikannya sebagai sensor visual untuk menilai sesuatu berdasarkan warna alami yang pernah dilihat. Manusia zaman dahulu juga selalu mengaitkan hadirnya sebuah warna sesuai dengan apa yang ada pada lingkungan mereka. Mereka berasumsi bahwa warna hadir tergantung dari hubungan antara cahaya matahari dengan dedauanan ataupun buah-buahan. Selain itu, menurut Michael Taussig (2009), dimana Isidore menyamakan warna dengan panas karena keduanya sama- sama berasal dari matahari dan secara etimologi dalam bahasa Inggris sangat dekat bunyinya yaitu color (warna) dan calor (kalori).
Dalam prosesnya, pewarnaan alami akan menghasilkan warna-warna yang sifatnya hidup. Salah satu contohnya yakni dari pengalaman seorang pembuat pewarna alami yang menyaksikan ketika sebuah air hasil perendaman daun indigo yang berwarna kuning kehijauan pelan- pelan berubah menjadi biru saat dicampur kapur dan udara. Katanya warna-warna itu tampak seperti burayak/cebong berkejar-kejaran (Laksono dkk. 2013). Pewarna alami tidak hanya dilihat dari sifatnya yang hidup, tetapi ada juga ciri-ciri dari zatnya. Adapun ciri-ciri dari zat pewarna alami, yakni terus berubah dan berkembang sehingga membutuhkan tafsir/perlakuan yang khas, memiliki sifat khusus yang sangat kultural, dan produksinya melibatkan sistem kerja mikroorganisme dan senyawa-senyawa lain.
Pengaplikasian pewarnaan alami secara umum sudah berjalan sejak zaman dahulu hingga sekarang, dan tentunya melewati serangkaian masa. Serangkaian masa tersebut menunjukkan bahwa proses pewarnaan alami masih terus dilestarikan. Berikut ini adalah rentetan masa pengaplikasian pewarnaan alami: Sejak 3500 SM manusia telah menggunakan Pewarna Alami yang diekstrak dari sayuran, buah-buahan, bunga, dan serangga (Kant 2012). Hal ini diperkuat dengan temuan pakaian berwarna dan jejak pewarna dari madder di reruntuhan peradaban Mohenjodaro dan Harappa 3500 SM.
Pengaplikasian warna juga digunakan pada pembuatan mumi. Mumi yang ditemukan di makam Raja Tutankhamnen di Mesir terbungkus oleh kain berwarna merah, hasil uji kimia menunjukkan bahwa warna merah merupakan senyawa alizarin suatu pigmen yang diekstrak dari madder (Aberoumand 2011).Pewarna alami telah digunakan di China pada 2600 SM (Rymbai et al. 2011). Di Benua India pencelupan kain telah dikenal pada periode lembah Indus yaitu pada 2500 SM (Aberoumand 2011). Sementara masyarakat di China telah mengenal Pewarna Alami untuk mewarnai tekstil pada tahun 2600 SM (Wearable 2009 dalam Untari 2012. Bahkan ada yang menyebut bahwa Indigo adalah ibu dari segala warna atau mother of all color (Taussig 2009).
Pengaplikasian pewarnaan alami ini sudah banyak diterapkan di Indonesia, dimana bahan-bahan dari pewarnaan alami tersebut banyak diperoleh dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang tentunya memiliki ciri khas warnanya masing-masing, dan tumbuh berdekatan dengan lingkungan masyarakat. Jadi tidak jarang jika masyarakat Indonesia, khususnya yang berada di pedesaan, mereka tidak asing dengan istilah pewarnaan alami dan bahan-bahannya. Biasanya bahan-bahan yang sering digunakan adalah bahan dari alam. Adapun beberapa jenis bahan-bahan pewarna yang berasal dari alam yang sering diaplikasikan untuk pewarnaan alami, yakni Daun Nila (Indigofera sp.), Kulit Kayu Soga Tingi (Ceriops candolleana arn), Kayu Tegeran (Cudraina javanensis), Kunyit (Curcuma sp.), Teh (Camelia sp.), Akar Mengkudu (Morinda citrifolia), Kulit Kayu Soga Jambal (Pelthophorum ferruginum), Kesumba (Bixa orellana), dan Daun Jambu Biji (Psidium guajava).
Jenis tumbuhan di atas merupakan bahan-bahan dari pewarnaan alami. Pewarnaan yang berbahan tumbuh-tumbuhan tersebut biasa digunakan oleh orang-orang Indonesia pada saat melakukan pewarnaan batik. Orang-orang zaman dahulu memang sangat kreatif dan terampil dalam melakukan berbagai hal, termasuk melakukan proses pewarnaan secara alami ini. Inilah yang menjadikan Indonesia memiliki pesona pewarnaan alami yang khas. Berikut adalah pesona pewarna alami di Indonesia:
- Indonesia pernah tercatat menjadi bangsa yang paling besar mengekspor Indigo ke berbagai dunia selain
- Raffles (2008) dalam The History Of Java, bahwa tom atau tarum (bahasa lokal dari Indigo) banyak dimiliki oleh para penduduk di berbagai pulau di
- Ibu Suliantoro Sulaiman bahkan menyebut bahwa indigofera tinctoria sebagai emas biru VOC pemerintah Hindia Belanda, yang diimpor dari Jawa melalui jalur indigo dengan kapal-kapal ke pelabuhan Amsterdam/ Rotterdam sebanyak 000 kilogram pasta setiap tahunnya.
- Termuat dalam Serat Pada serat tersebut memuat pengetahuan tentang enam spesies tanaman penghasil warna.
- Kamus Bausastra Jawa (Poerwadarminta 1939) yakni adanya kata “menter” yang artinya marna nganggo wenter (mewarnai dengan wenter).
Penggunaan pewarnaan alami di Indonesia sangat identik digunakan dalam pewarnaan batik. Hal ini karena batik merupakan salah satu peninggalan kebudayaan yang sudah mendunia dan sangat terkenal, dimana dalam prosesnya terdapat proses pewarnaan. Penggunaan Pewarna alami untuk proses pewarnaan batik, khususnya batik tulis pada umumnya akan menghasilkan warna yang dingin kurang cerah atau dikenal dengan istilah mbladus. Hasil kajian Laksono, dkk (2013) menunjukkan bahwa sejumlah produsen batik dengan PA di tiga kota (Yogyakarta, Pekalongan, dan Bangkalan) justru beranggapan bahwa mbladus bukanlah suatu kelemahan atau kekurangan batik warna alam, melainkan suatu kelebihan yang tidak dimiliki oleh batik tulis lainnya. Ada perbedaan yang cukup signifikan antara mbladus yang dihasilkan oleh bahan menggunakan zat warna dengan mbladus yang dihasilkan oleh pewarna sintetis yang panas ngejreng. Mbladus pada batik yang dihasilkan oleh zat pewarna alami akan semakin terlihat bagus jika sering dipakai, akan tetapi mbladus yang dihasilkan oleh batik dengan menggunakan pewarnaan sintetis semakin lama akan semakin menunjukkan warna yang pudar.
Seiring dengan berkembangnya zaman, banyak terjadi revolusi-revolusi dalam kehidupan. Terjadi perubahan proses-proses dalam tata kelola yang ada. Seperti halnya di zaman modern ini, teknologi telah berkembang pesat. Industri-industri batik banyak memanfaatkan kehadirannya. Banyak dari industri yang lebih memilih menggunakan bahan-bahan modern dalam proses pengerjaan produknya, salah satunya pada proses pewarnaan. Industri saat ini kebanyakan lebih memilih menggunakan pewarna sintesis daripada pewarna alami. Pewarna sintesis adalah zat warna buatan atau sintesis yang dibuat dengan reaksi kimia dengan bahan dasar dari arang atau batu bara atau minyak bumi. Namun, munculnya pewarna sintesis ini mengakibatkan industri-industri batik dengan pewarna alami menjadi terabaikan. Pewarna alami menjadi terabaikan karena pewarna tersebut dinilai banyak memiliki kekurangan, seperti dianggap memiliki spektrum warna yang terbatas, juga mudah kusam dan ketahanan luntur rendah bila dicuci serta kena sinar matahari (Kant 2012). Pewarna alami juga dianggap memiliki kelemahan antara lain warna tidak stabil, keseragaman warna kurang baik, konsentrasi pigmen rendah, spektrum warna terbatas (Paryanto, dkk. 2012).
Adapun refleksi-refleksi dari orang-orang mengenai pewarnaan alami pada batik yakni sebagai berikut:
- Kekuatan Pewarna Alami justru dianggap sebagai kelemahan dan dinilai kurang baik, demi pengunggulan Pewarna Sintetis, komoditi asing, yang tidak punya acuan
- Aplikasi warna sintetik pada komoditi telah memutuskan hubungan (alamiah/metonimik) warna dengan
- Orang pun kemudian mengapresiasi warna lebih sebagai citra metaforik/simbolik daripada sebagai kepanjangan dari hidup itu
- Bagaimanapun Pewarna Alami karena spesifikasinya sesungguhnya bukan saingan Pewarna Sintentis baik menurut proses produksi maupun aplikasinya pada
- Apresiasinya pun menuntut pengertian yang khas artistik dan historis. Bahkan daya/jiwa yang ada pada batik dengan Pewarna Alami merupakan sumber reproduksi sosial budaya berbasis
- Produksi Pewarna Alami , terutama seperti halnya indigo, sangat tergantung pada proses-proses alam. Aplikasinya pun dapat murni menggunakan reduktor alami dari mikro organisme. Jika kita memperlakukan Pewarna Alami sebagai warna sintetis yang tetap maka kita sudah mematikan warna
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa setiap pemilik industri batik harus mampu mengelola sistem dan serangkaian proses pewarnaan batik dengan benar. Mereka juga dituntut siap untuk menghadapi persaingan-persaingan dalam industrinya, terkhusus industri batik yang masih menggunakan pewarnaan alami. Adanya mitos baru yang digunakan untuk memperkuat daya saing pewarna alami, dimana pewarna alami bukanlah komoditi untuk industri masal tetapi merupakan bagian kompenen produksi kreatif (artisik) yang berdaya saing tak terbatas. Pewarna alami akan menjadi artisik apabila warna alami mampu mempertahankan daya/karakter/jiwa-nya, sehingga batik berwarna alami menjadi berkelas dan dapat menemukan calon penggunanya sendiri. Meskipun kini pewarnaan alami pada batik telah terabaikan akibat munculnya pewarnaan sintesis, namun seharusnya, ini tidak mengecilkan keberanian pemilik industri batik yang menggunakan pewarnaan alami untuk tetap konsisten dengan pewarnaan alaminya, mereka tetap bisa produktif asalkan mereka mampu mempertahankan daya/karakter/jiwa-nya demi terwujudnya pewarna alami yang mengandung unsur artisik, sehingga batik berwarna alami menjadi berkelas dan dapat menemukan calon penggunanya sendiri.
Content Writing:
Dari PPT: Seminar Dalam Jaringan (SADARING)#1 INDI LPPT UGM, 15 Juli 2020